Sri Sultan Hamengku Buwono IX |
Empat periode berturut-turut, Sri Sultan Hamengku Huwono IX menjabat yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Dalam sejarah kepanduan Indonesia, Sri Sultan HB IX merupakan salah satu tokoh yang berhasil menyatukan berbagai organisasi kepanduan di Indonesia menjadi satu wadah yakni Pramuka sehingga dinobatkan sebagai Bapak Pramuka.
Dalam buku berjudul 'Hamengku Buwono IX, Inspiring Prophetic Leader, Memimpin dengan Kecerdasan Intelektual dan Spiritual', editor Parni Hadi dan Nasyith Majid terdapat beberapa tulisan kenangan dari pengurus Kwarnas Gerakan Pramuka.
Salah satunya adalah Prijo Judiono yang saat itu bekerja di kantor Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada tahun 1972. Saat itu Sri Sultan HB IX menjabat ketua Kwarnas keempat periode 1970-1974 sekaligus menjabat sebagai Menteri Negara Ekuin.
Di Kwartir Nasional, dia dipanggil dengan sebutan 'Kak Sultan HB IX'. Prijo merekam berbagai hal atau pengalaman selama bekerja di Kwarnas. Beberapa di antaranya mengenai perjalanan ke Sumatera Utara untuk menuju pertemuan Kwarda di perkemahan Sibolangit, dekat Brastagi.
Dia menceritakan saat perjalanan melewati Gunung Sibayak dengan jalan menanjak dan sempit, pengawalan dari voorrijder CPM mendadak berhenti di tengah jalan. Mobil yang dinaiki Sri Sultan HB IX bersenggolan dengan mobil dari arah berlawanan.
Voorrijder CPM berhenti, langsung turun dan melayangkan bogem mentahnya. Melihat insiden tersebut, Sultan turun melerai: "Sudah, sudah...!" Kontan drama kekerasan itu berhenti, semua tenang kembali ke posisi masing-masing, semua naik mobil kembali, starter menuju Bumi Perkemahan Sibolangit. Tak ada apa-apa lagi. Semua acara berjalan lancar hingga selesai.
Kenangan kedua adalah soal pengendalian diri yang luar biasa. Sebagai Ka Kwarnas, Sultan HB IX menerima kunjungan/pertemuan dengan Senator Maria-Kallaw Katigbak, Ketua Gerakan Kepanduan Fillipina. Pertemuan membahas kerjasama Girl Scouts of the Phillipines dengan Gerakan Pramuka.
Saat acara penyerahan cinderamata berupa wayang kulit Sri Kresna oleh Sultan kepada Maria-Kallaw. Senator Maria-Kallaw mengucapkan terima kasih karena sudah pernah menerima cinderamata seperti itu sehingga dengan halus dia menolak.
Prijo yang saat itu menyaksikan, Sultan tidak bereaksi apapun dan raut muka Beliau tidak berubah sama sekali. Beliau hanya senyum dan minta staf untuk menyimpan kembali wayang Sri Kresna itu. "Self controll yang luar biasa," kenangnya.
Menurutnya sosok Sultan juga seorang pelestari fauna. Peristiwa ini oleh Prijo dianggap menggemaskan dan konyol yang pernah terjadi di kantor Medan Merdeka Selatan No 6.
Saat itu datanglah 4 orang Kwarda Jambi sambil membawa harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) yang sudah dioffset. Offset-an harimau itu akan diserahkan kepada Ka Kwarnas, Sri Sultan HB IX.
Setelah diatur waktunya, harimau sumatera yang telah dioffset itu dipikul dari kantor Jl Medan Merdeka Timur ke kantor Jl Medan Merdeka Selatan. Karena tidak ada mobil pick up, harimau itu dipikul sehingga mengundang perhatian banyak orang.
Sultan menerima cinderamata itu dengan baik dan kemudian dipajang di depan dekat ruang tamu. Namun itu ironi, mereka yang dari Jambi itu tidak tahu kalau Sultan itu ketua World Wildlife Fund Indonesia yang bertugas menggalakkan pelestarian fauna yang terancam punah di Indonesia.
Kenangan ketiga adalah kesukaan Sultan HB IX berkemah. Itu diceritakan ketika berkunjung acara jambore dunia ke 13 di Shizuoka, Jepang, 2-10 Agustus 1971. Sultan ikut berkemah dan mamasak nasi goreng untuk sarapan bersama-sama. Hobi memasak adalah kegemaran beliau.
Sedangkan peristiwa lain saat acara Perkemahan Wirakarya di Lebakharjo, Malang Selatan, tahun 1978. Sultan waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Kebiasaan ikut berkemah itu sedikit merepotkan panitia karena sesuai aturan protokoler untuk pengaman. Bupati Malang, Suwignjo, pun akhirnya ikut berkemah.
Kenangan lainnya ketika Gerakan Pramuka pada September 1974 melakukan penggalangan dana karena tidak punya donatur. Sultan menggalang dana dari kalangan pengusaha untuk membantu pendidikan yang dilakukan Pramuka.
Saat itu Sultan menyerahkan satu unit mobil sedan Holden Statesman tahun 1974 untuk dilelang dan hasilnya dimasukkan ke panitia. Di gerakan kepanduan maupun kepramukaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mendapat sebutan Pandu Agung karena sosoknya yang mencerminkan seorang guru dan panutan bagi Pramuka Indonesia.